Polda Metro Jaya mempertanyakan dokumen perkara korupsi Direktorat Jenderal
Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan yang dibawa-bawa tim kuasa hukum Ketua KPK
nonaktif Firli Bahuri pada persidangan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Tim Advokasi Bidang Hukum Polda Metro Jaya (Bidkum PMJ) menilai perkara
korupsi di DJKA tersebut tidak memiliki relevansi dalam sidang praperadilan
Firli sebagai tersangka dugaan korupsi berupa pemerasan ke Syahrul Yasin
Limpo (SYL).
"Pemohon (kubu Firli) menyampaikan barang bukti yang menurut kami tidak ada
korelasinya dengan yang sedang dibahas di sidang praperadilan. Bukti P26
sampai P37. Saya baca contoh, P26 daftar hadir dan kesimpulan dan seterusnya
tentang OTT DJKA. Ini barang bukti yang menurut kami tak linier dengan apa
yang sedang kita bahas karena petitum yang bersangkutan salah satunya
penetapan tersangka tidak sah," kata Kabidkum PMJ Kombes Pol Putu Putera
Sadana saat persidangan, Jumat (15/12/2023).
Kepada ahli yang dihadirkan, Putu menanyakan apakah dokumen itu termasuk
dokumen negara yang harus dirahasiakan, atau tidak.
"Karena dalam kepolisian dirahasiakan, belum lagi sampai P37, hampir semua
tentang DJKA dijadikan barbuk di sini. Kami bertanya apa korelasinya dengan
kasus yang sedang kita bahas ini?" ujarnya.
Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya (UB) Fachrizal Afandi, yang
menjadi salah satu ahli yang dihadirkan, menyebut, bahwa dokumen itu
bersifat umum, dalam arti dapat diakses siapa saja, tidak menjadi
masalah.
"Tapi, kalau misalkan alat bukti itu yang diungkapkan di persidangan itu
orang biasa susah mendapatkan, itu maka harus dilihat apa relevansinya
dengan perkara ini," kata Fachrizal.
UU KIP
Dia pun menyinggung Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Dalam pasal 17 disebutkan, badan publik wajib merahasiakan setiap informasi
yang berkaitan dengan proses penegakan hukum.
"Informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu
tindak pidana," ujarnya.
"Misalkan mengungkap identitas informasi, pelapor, saksi atau korban yang
mengetahui adanya tindak pidana. Atau misalkan mengungkapkan data intelijen
kriminal, dan yang berhubungan dengan pencegahan dan penangan tindak pidana,
kita bisa lihat bahwa proses itu sifatnya rahasia, dikecualikan dari
informasi yang bersifat publik," katanya.
Fachrizal bilang, setiap orang yang mengakses atau memperoleh dan
memberikan informasi yang dikecualikan, dapat dijerat pidana 2 tahun penjara
dan denda paling banyak Rp 10 juta sesuai dengan Pasal 54 UU KIP.
"Tapi, lagi-lagi kalau kita bicara perbuatan pidana, kita harus
lihat mens rea (niat
jahat) dan actus reus (unsur tindakan)," katanya.
Sedangkan, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Junaidi Saibih
yang juga dihadirkan sebagai ahli juga berkata demikian. Menurutnya yang
menjadi materi praperadilan saat sidang yakni proses penetapan tersangka,
seperti proses pemanggilan dan sebagainya.
"Adapun berkaitan dokumen rahasia seharusnya tidak boleh dibuka karena itu
ada potensi nantinya akan terjadi hal menbahayakan dalam proses penyidikan.
Misalnya informasi orang itu berkaitan pemeriksaan dan sebagainya, lalu
dikhawatirkan akan jadi penghambat proses penyidikan. Misal orangnya
melarikan diri," paparnya.
Sebagaimana diketahui, usai jadi tersangka di Polda Metro Jaya dan
diberhentikan sementa oleh Presiden Joko Widoo atau Jokowi, Firli melakukan
perlawanan atas statusnya.
Dia tidak terima dijadikan tersangka dugaan pemerasaan ke mantan Menteri
Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sehingga menggugat Polda Metro Jaya ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan itu didaftarkan Firli pada Jumat
24 November 2023, dengan nomor perkara 129/Pid.Pra/2023/PN.JKT.SEL.
Dalam gugatan itu tertulis, Firli sebagai pemohon, dan termohon Kepala
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Karyoto.
Copas dari
https://www.suara.com/news/2023/12/15/190727/kubu-firli-bahuri-bawa-dokumen-korupsi-djka-kemenhub-di-persidangan-polda-metro-jaya-apa-korelasinya
No comments:
Post a Comment