Dalam Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Hotel Grand Preanger, Kota
Bandung. Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, mengakui bahwa revisi KPK jadi bagian yang melemahkan KPK.
"Saya punya hak moral untuk mengatakan sekarang ini bahwa revisi UU KPK itu
memang menjadi bagian dari upaya pelemahan terhadap KPK," ungkapnya.
Berdasarkan hasil survei transparansi internasional, Mahfud MD mengatakan
kalau skor indeks persepsi korupsi Indonesia turun drastis dari yang semula
berada di peringkat 38 para tahun 2022 menjadi 34 pada tahun 2023. Peringkat
Indonesia pun turun dari yang semula 96 menjadi 110 dari 180 negara di
dunia.
"Indeks persepsi kita turun dari peringkat 96 dari 180 negara menjadi
peringkat 110. Jadi turunnya 14 tingkat kalau dibandingkan dengan urutan
negara terkorup," ucapnya.
Penurunan itu, sambung Mahfud, terjadi lantaran revisi UU KPK yang
dilakukan. Dia juga menyatakan bahwa dirinya tak pernah ikut terlibat dalam
revisi UU KPK. Sebab, dia menjabat sebagai menteri setelah UU tersebut
disahkan.
Lantas perubahan apa yang disebabkan revisi UU?
1. Independensi KPK Melemah
Sebelum rervisi, Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 mengatur KPK sebagai
lembaga negara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Ini
sejalan dengan United Convention Against Corruption yang mengatur keseriusan
independensi entitas pemberantasan korupsi yang telah ditandatangani
Indonesia.
Untuk memastikan hal ini, beberapa pasal UU KPK 2002 menitik beratkan
proses decision making KPK yang adil dengan menganut kepemimpinan yang
bersifat kolegial di mana segala keputusan diambil secara kolektif dan
jumlah komisioner bersifat ganjil (5 orang) dan keputusan diambil
berdasarkan suara mayoritas.
Setelah direvisi, Pasal 3 UU KPK 2019 meletakkan KPK di bawah kekuasaan
eksekutif (presiden) dalam melaksanakan tugasnya. Kenapa dianggap
problematik? Lantaran sebagian besar tersangka korupsi berasal dari
eksekutif sehingga ruang gerak untuk menetapkan tersangka berpotensi
dipersempit dan tidak independen.
2. Tumpang Tindih Tugas Pengawasan
Sebelum revisi, demi transparansi saat menjalankan kewajibannya KPK wajib
merilis laporan tahunan kepada Presiden, BPK, DPR. Laporan ini juga bisa
diakses secara publik.
Selain itu, adanya lembaga lain yang mengawas KPK seperti BPK secara
keuangan, DPR dan Presiden secara pengawasan.
Setelah revisi, pada Pasal 37B UU KPK 2019 terbentuklah Dewan Pengawas yang
mempunyai tugas yang tidak beda jauh yaitu mengawasi pelaksanaan tugas dan
wewenang KPK. Kenapa dianggap problematik? Tugas DP telah dilaksanakan oleh
presiden, DPR, dan lembaga lain. Tanpa adanya pembedaan yang jelas. Hal ini
menyebabkan kebingungan lebih dan kinerja yang tidak efisien serta
dipertanyakan faedahnya.
3. Hilangnya Status Penyidik dan Penuntut Pemimpin KPK
Pada Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK 2002 disebutkan bahwa Pimpinan KPK
adalah penyidik dan penuntut umum dan penanggung jawab tertinggi KPK. Status
ini memberi pemimpin KPK otoritas untuk (a.) memulai perkara walau
melibatkan pelaku sipil dan militer (b.) mendukung pembentuk tim penyidik,
tim penuntut, hingga komposisi Majelis Hakim saat sidang supaya peran
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
Setelah direvisi, dua status tersebut justru dihapus yang membuatnya rawan
dipersoalkan berbagai pihak. Menurut ICW, lingkung kerja Pimpinan KPK
menjadi terbatas sampai kerja administrasi, karena langkah aspek penegakan
hukum yang dipersulit.
4. Penghapusan Kantor Perwakilan Daerah KPK
Sebelum revisi, dalam Pasal 19 ayat (2) UU KPK lama, KPK dapat membentuk
perwakilan di daerah provinsi yang memungkinkan KPK membukaa kantor
perwakilan pada tingkat daerah.
Setelah revisi, pasal tersebut dihapus sehingga KPK tidak dapat mempunyai
kantor perwakilan daerah lagi. Sehingga kantor perwakilan menjadi sangat
penting untuk mempermudah supervisi terutama jika korupsi sangat marak
terjadi di tingkat daerah.
5. Proses Penyidikan Bisa Dihentikan di Tengah Jalan
Sebelum revisi, Pasal 40 UU 2002 sekali KPK menyidik seseorang tersangka
korupsi, tidak bisa dibatalkan prosesnya. Pasal memandatkan KPK untuk
berhati-hati dalam memulai penyidikan karena wajib memastikan punya bukti
permulaan yang cukup.
Setelah revisi, KPK dapat menghentikan penyidikan/penuntutan dengan
menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) untuk
kasus yang tidak selesai dalam waktu maksimal 2 tahun untuk memastikan
efisiensi.
Lantas kenapa sih hal itu dianggap problematik? Pertama, menangani kasus
korupsi, pada dasarnya membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun. Bahkan, dalam
kasus pengadaan KTP-Elektronik, auditor BPKP membutuhkan 3 tahun untuk bisa
menyimpulkan adanya kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun.
Kedua, SP3 juga bisa disalahgunakan untuk mengintimidasi. Misalnya dengan
SP3, KPK dapat menyidik siapapun tanpa bukti kuat karena ada jaminan bahwa
penyidikan tersebut bisa diberhentikan.
Copas dari
https://www.suara.com/news/2023/12/11/102831/mahfud-md-akui-revisi-uu-kpk-melemahkan-kpk-di-hari-anti-korupsi-ini-5-poin-before-afternya
No comments:
Post a Comment