Saat ini malam semakin menunjukkan kesendiriannya. Malam yang riuh berganti
lebih tenang. Semakin tenang. Dan sunyi. Aku memandang ke luar jendela
dengan berbaring. Aku ingat aku pernah berkunjung ke sebuah kota terpencil.
di sana sangat alami. Aku bisa mendengar suara rimbun pohon saling bertegur
sapa. Suara sungai yang mengalir ramah. Alirannya nampak tenang namun cukup
bergejolak. Alirannya memanjang seperti membelah kedua padang rumput.
Lebarnya sekitar tiga meter atau lebih. Mungkin kurang. Aku pernah melepas
sepatu saat benar-benar siang dan panas di sana.
Kemudian aku masukkan kaki ke air sungai itu. Sejuk sekali air sungai saat
menyentuh dasar kakiku. Banyak kerikil di dasarnya. Aku dapat melihat
kerikil-kerikil itu. Aku terbawa hanyut dalam kesejukannya. Ternyata lumayan
dalam juga jika terus ke tengah. Mungkin seukuran leherku. Aku hanya
bermain-main di tepi. Biasanya hingga kedalaman lima puluh centimeter. Waktu
itu aku memakai rok pendek biru tua sehingga aku bisa menenggelamkan kakiku
hingga lutut dan aku pun tersenyum saat menikmatinya.
Angin dari padang rumput di seberang sungai menyapu lembut syal tipis yang
menggantung di leherku. Tidak ada tempat duduk. Yang ada hanyalah batu agak
besar di bawah pohon yang lumayan besar juga. Aku sangat senang mendekati
batu dan pohon itu. Mengelus permukaan batu yang halus itu kemudian ku
singgahkan badanku di atasnya. Kadang aku duduk di rumput dan menyandarkan
punggungku pada batunya. Tidak tentu. Semua peralatan yang ku bawa seperti
tas, handphone, air minum, buku, dan pena selalu mendarat tak jauh di
sampingku.
Pohon ini daunnya hanya sebesar kuku jari atau lebih besar. Namun sangat
lebat. Ia memiliki banyak ranting dan dahan yang kuat. Burung-burung senang
tinggal di sana. Aku bisa mendengar kicauan kecil anak-anak burung ketika
duduk di sana. Daun-daun kecil dari pohon juga sering berjatuhan. Bisa kau
rasakan seperti apa rasanya duduk di bawah pohon seperti ini? Aku yakin kau
pun akan takjub bila berada di sini bersamaku. Di alam terbuka yang jauh
dari riuh orang-orang.
Kadang aku juga mencium bau panas yang dibawa angin kering dari padang
rumput di seberang sana. Di belahan padang rumput sebelah sana lebih sedikit
pohonnya. Namun air sungai yang mengalir cukup deras itu dapat menetralkan
angin panas yang datang dari sana sehingga aku dapat merasakan kesejukan
yang seolah-olah ku rasakan seperti memeluk tubuhku di akhir angin itu
berhembus. Aku sangat menyukai tempat serta suasana di sini.
Sebenarnya mudah sekali ke tempat ini namun aku tak tahu mengapa tak banyak
yang datang atau mungkin mereka tidak mengetahui ada tempat seindah ini?
Mungkin saja mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka
masing-masing dan ketika tiba saatnya hari libur mereka lebih memilih
berlibur yang pasti bukan ke tempat ini. Karena sering mendatangi tempat ini
aku sering mengklaim ini adalah tempatku. Aku tersenyum setelah mengatakan
itu. Aku hanya datang saat tertentu saja.
Bagaimana bisa aku mengatakannya, “tempatku.” Hihi, lucu rasanya saat aku
mengingatnya. Tersadar aku tak pernah merawat tempat ini. Namun mereka
tumbuh dengan subur dan terlihat bahagia, memanjakanku. Pohon-pohon yang
besar. Ada yang berjajar, ada yang berjauhan. Rumputnya hijau muda nan
sejuk. Sungainya mengalir dan alirannya memecah kesunyian di tengah padang
ini.
Untuk menuju ke tempat ini aku biasanya memilih naik bus saat aku memang
sedang membutuhkan teman. Aku lebih suka menyapa orang baru dan tersenyum
pada mereka. Jika memang niatku ingin jalan-jalan kadang aku memilih
menyetir mobil sendiri. Meski tak begitu suka dengan mobil namun aku harus
menyetir sendiri. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar empat jam dengan bus.
Namun jika aku menyetir sendiri dan jika aku beruntung tidak mendapat macet,
dengan dua jam aku sudah bisa bersandar di batu di bawah pohon besar itu dan
menikmati segala pemandangan alam di sana. Aku selalu senang mengingat
tempat itu dan meluangkan waktu pergi ke sana.
Satu hal lagi, aku selalu tersenyum saat mulai berkemas jika ingin pergi ke
sana. Setelah sampai di kota terpencil itu, aku akan memarkir mobilku tidak
jauh dari desa. Aku mengenal satu warga desa di sana. Kebanyakan penduduk di
desa itu selalu bersikap ramah saat aku datang. Mereka suka melempar senyum
ketika aku datang. Menawarkan makanan padaku, menanyakan kabarku jika lama
tidak berkunjung, berebut untuk menawarkan tempat singgah jika aku mau
menginap. Kalian juga pasti akan senang bukan menerima perlakuan yang begitu
baik dari mereka?
Bagiku tempat ini adalah surgaku. Mengingat dari siapa lagi aku bisa
mendapat perlakuan seperti ini. Selama ini aku hidup sendirian. Waktu Ibu
untukku hanya pada hari minggu dengan beberapa menit percakapan yang tidak
mampu… Sudahlah. Ayahku jarang menemaniku sejak aku kecil, setelah aku
dewasa Ayah berpulang. Saudara kandung aku pun tak punya. Semua sepupuku
juga sibuk dengan pekerjaan mereka. Teman-temanku juga sudah sibuk dengan
kehidupan baru mereka. Tak ada lagi sahabat yang selalu mendampingiku.
Satu-satunya temanku yaitu Nenekku. Aku sayang dengan Nenek. Nenekku
seperti Ibuku. Nenek merawatku dari bayi hingga dewasa. Kami sering bercanda
dan saling bercerita. Lucu rasanya ketika Nenek bercerita tentang saat ia
didekati laki-laki waktu ia masih sekolah dulu. Saat ia mencuri makanan yang
akan dibuat entah untuk apa oleh buyutku untuk dibawa ke sekolah. Aku dan
Nenek saling berbagi. Nenek memberiku lebih dari apa yang Ibu berikan. Ibu
tidak punya waktu sama sekali untuk memahamiku. Namun ia mengganti semua itu
dengan kerja kerasnya. Membiayai semua kebutuhanku, untuk sekolah hingga
kuliah.
Kembali pada tempat di sebuah desa di kota terpencil tadi. Aku masih
melanjutkan ingatan ini karena… Sudahlah. Pertemuan yang mungkin sedikit
klise di mata kalian. Hampir tiga bulan sekali aku berkunjung ke padang
rumput itu. Waktu itu bulan Mei. Ada hujan turun di bulan Mei. Ya, tidak
sering, hanya pada waktu tertentu. Aku biasanya menyanggul rambutku saat
cuaca panas dan membiarkannya terurai saat cuaca sejuk. Saat itu aku
benar-benar menghabiskan waktu di sana. Aku tiba di sana jam delapan pagi.
Mungkin lebih lima belas atau tujuh belas menit. Namun, hingga sore pun aku
masih di sana. Tempat itu benar-benar sepi. Tidak pernah ku lihat ada orang
selain aku ketika aku menghabiskan waktuku di sana menulis cerita,
bernyanyi, berbaring, bermain dan lainnya.
Sore itu air di botol minumku tinggal seteguk. Atau mungkin bisa ku teguk
hingga tiga kali. Siang itu sangat cerah dan sedikit panas. Sekitar jam
empat sore aku beranjak dari batu besar di bawah pohon itu. Aku melangkahkan
kakiku maju mendekati tepi sungai. Cahaya senja seperti lampu kuning yang
menambah romantisme alam di sini. Terbersit saja di pikiranku untuk
menikmati aliran sungai ini mengalir di tubuhku. Aku tersenyum. Aku sangat
yakin tidak ada orang di sini.
Aku menarik selendang tipis di leherku. Aku tahu selendang batik ungu
milikku ini cukup lebar meskipun tipis. Aku menutup tubuhku dengan
selendang. Aku tinggalkan rok pendek biru tua di tepi sungai. Juga kaos
putihku di sana. Aku mendekati air sungai. Hmm.. aku tertawa kecil. Aku
terus melangkahkan kakiku ke tengah sungai. Air sungai yang sejuk itu
semakin ke atas dan membasahi tubuhku. Aku sangat menikmatinya.
Sudah cukup sepertinya aku berendam di sungai karena hawa sejuk berubah
menjadi dingin. Aku naik ke atas dan kembali ke tepi sungai di padang rumput
yang luas itu. Aku berangin-angin sejenak di sekitar hingga ku rasa cukup
kering untuk kembali memakai pakaianku. Hingga aku menyadari sepertinya ada
orang yang memperhatikanku di satu pohon yang lebih besar di sana. Mataku
menangkap satu objek di atas pohon. Sepertinya ada rumah pohon di pohon yang
lebih besar itu. Mengapa baru ku sadari? Tuhan.. betapa aku ingin tahu ada
apa dan siapa di balik sana karena apa yang telah ku lakukan baru saja.
Sebenarnya aku hanya melihat rumah pohon itu. Namun, mungkin saja ada orang
di sana. Belum kering benar tubuhku tapi ya sudahlah aku segera memakai
kembali rok pendek biru tua serta kaos putihku. Rasa ingin tahuku untuk
mengetahui ada apa dan siapa di balik sana terpaksa harus aku tunda. Aku
memutuskan untuk menginap saja malam ini. Niatku untuk melangkahkan kaki
mendekati dan melihat ada apa dan siapa di balik sana tidak ku lakukan.
Aku kembali mendekati batu besar di bawah pohonku. Menutup buku dan menutup
penaku. Aku membuka tas dan memasukkan buku, pena, telepon genggam, dan
botol minum ke dalam tas. Yah, satu lagi. Selendang. Aku putuskan membawanya
saja karena aku tidak ingin membasahi tasku. Aku melangkah pergi menjauhi
tempat itu. Aku berjalan melewati tepi sungai yang melawan arus. Ada
tanjakan kecil seperti beberapa anak tangga di depanku. Waktu ku langkahkan
kakiku pada anak tangga pertama, tiba tiba… “Kamu ingin mencariku?” Suara
seorang laki-laki memecah keheningan di akhir senja kala itu.
Aku dengan cepat membalikkan badan dan bibirku hanya terbuka dengan mata
sedikit membelalak. Kedua alisku hampir bertemu. Apa yang harus aku katakan
kalau tiba-tiba ada laki-laki desa menyapaku kemudian tersenyum kecil
menatap mata ini tepat di hadapanku dengan sejarah aktivitas yang aku
lakukan tadi? Aku melirik ke kiri bawah, mengarahkan pandanganku pada
kakinya sambil menggigit bibir. Aku berpikir, aku harus berkata apa.
“Kamu…”
“Iya, rumah pohon itu buatanku. Tadi aku di sana. Aku melihat kamu di dalam sungai tapi percayalah aku tidak melihat lebih dari itu. Ngomong-ngomong suara kamu bagus dengan lagu tadi hingga membangunkanku.” Oke, laki-laki itu cukup menjawab kebingunganku.
“Mari pulang.” Ia menambahkan.
“Iya, rumah pohon itu buatanku. Tadi aku di sana. Aku melihat kamu di dalam sungai tapi percayalah aku tidak melihat lebih dari itu. Ngomong-ngomong suara kamu bagus dengan lagu tadi hingga membangunkanku.” Oke, laki-laki itu cukup menjawab kebingunganku.
“Mari pulang.” Ia menambahkan.
Aku hanya mengucapkan kata maaf dengan senyum kecut kepadanya. Aku juga
memberitahunya bahwa ku pikir tidak ada orang selain aku yang suka
mengunjungi tempat ini. Kami berdua berjalan bersampingan kembali ke desa.
Aku menoleh ke arahnya. Kemudian aku tersenyum. Betapa pertemuan yang
konyol.
Boneka Yang Sombong
Namaku Grace, umurku entah berapa. Aku telah lama terpisah dengan
keluargaku. Dulu orang bilang aku cantik dan lucu, namun lain dulu lain
sekarang. Rumahku di mana saja, aku bisa berkeliling dunia. Jika ada hujan
aku terbawa air, dan tiap itu juga aku pergi ke tempat yang berbeda dan juga
suasana yang berbeda. Suatu hari ada banjir menerjang tempatku berada, aku
terapung cukup lama di atas air. Dan setelah air surut, aku berada di dekat
tong sampah.
Tak berapa lama ada gadis kecil ku perkirakan usianya 8 tahun mengambilku.
Aku dibawa ke rumahnya, yang letaknya tak jauh dari situ. Rumahnya
sederhana, ia tinggal bersama kedua orangtuanya.
“Bu, lihat apa yang ku bawa.” “Nak, dia cantik namun kotor. Sebaiknya cuci dulu dia.”
“Baik bu, matanya juga copot satu. Tapi aku punya bekas boneka yang lama.”
“Ya sudah, perbaiki dia.” Lalu dia memasang mata untukku, dan menjahit tubuhku yang luka. Lalu mencuci dan menjemurku.
“Bu, lihat apa yang ku bawa.” “Nak, dia cantik namun kotor. Sebaiknya cuci dulu dia.”
“Baik bu, matanya juga copot satu. Tapi aku punya bekas boneka yang lama.”
“Ya sudah, perbaiki dia.” Lalu dia memasang mata untukku, dan menjahit tubuhku yang luka. Lalu mencuci dan menjemurku.
Keesokan harinya ia mengangkatku dari jemuran, lalu membawaku ke kamarnya.
Ternyata banyak boneka yang lain selain aku di kamarnya. Ternyata namanya
Ashylla. Setelah lama aku tinggal bersamanya, aku jadi boneka kesayangannya.
Dan dari saat itu aku mulai sombong. “Hay Grace,” Kata Boni si boneka
beruang. “Hay juga Boni, si boneka lama Ashylla, hahaha” Kataku, Boni merasa
tersinggung dan pergi meninggalkanku dengan marah.
Tak lama kemudian, boneka–boneka yang lain disimpan di atas lemari yang
cukup tinggi, sedangkan aku disimpan di tempat tidurnya. Aku merasa semakin
sombong. Malamnya, keluarga Ashylla belum tidur mendengar suara. “BANJIR!!
BANJIR!! BANJIR!!” dan terdengar suara kentongan. Ternyata terjadi banjir,
keluarga Ashylla langsung pergi lari meninggalkanku. Boneka lain aman di
atas lemari sedangkan aku, di tempat tidur. Tak lama kemudian banjir datang
menerjangku, sedangkan boneka yang lain tidak ikut terbawa karena ada di
lemari tinggi. Dan tidak terkena banjir. Masa laluku kembali terulang, sudah
lama aku tak merasakan terbawa air. Setelah banjir surut, aku ada di dekat
toko yang sudah tutup. Yang aku sesalkan adalah belum meminta maaf kepada
teman–temanku, kalau boleh ku ulang waktu aku akan meminta maaf dan
memperbaiki semua. Tapi semua sudah terlambat.
Apakah Aku Masih Terlalu Muda
Hai, namaku Ryn. Ini adalah kisah nyata. Umurku masih 11 tahun. Umur yang
masih muda untuk mengenal kata cinta. Meski demikian, sebenarnya aku telah
mengenal cinta sejak kelas 2 SD. Hehe..
Januari 2014, sekitar tanggal 13. Aku dan teman-temanku pergi retret. Kami
bersenang-senang di sana. Tanpa sadar, aku menemukan pacar pertamaku di
sana. Dia adalah anak baru yang tidak terlalu dekat denganku. Awalnya,
seperti anak-anak pada umumnya, kami bermain kejar-kejaran dan pukul-pukulan
ringan. Kami tertawa bersama dengan teman-teman lainnya. Sehari setelah
retret, aku di BBM olehnya, katanya ia suka sama aku. Aku menanggapinya
dengan biasa-biasa saja. Anehnya, beberapa hari setelahnya, kami semakin
dekat dan aku merasa mulai suka sama dia.
Awalnya, aku menutupi perasaanku rapat-rapat. Namun, saat dia bertanya di
BBM, kamu suka sama aku gak? sedikit pun? Aku tidak dapat menutupi
perasaanku lagi. Aku berkata ya. Dia bertanya apakah aku mau menjadi
pacarnya. Aku menolaknya karena aku saat itu masih taat pada orangtuaku
untuk tidak pacaran. Hari berganti bulan, hubungan kami semakin dekat tanpa
adanya status pacaran. Dia kembali menembakku. Aku, sesuai keputusan awal,
menolaknya. Entah sudah berapa kali dia menembakku.
4 April 2014. Hari pertama aku jadian sama dia. Wow, akhirnya aku melanggar
perintah orangtuaku. Aku tidak tahan lagi. Ternyata hubungan itu hanya
berlangsung 1 hari. Aku memutuskannya karena aku melihat smsnya dengan
sahabatku yang tergolong sangat mesra. Ya, tampaknya aku harus melupakan
dia. Kami kembali menjadi teman biasa. Namun, semakin aku ingin
melupakannya, semakin aku merasa sedih. Entah apa yang harus ku lakukan.
25 April 2014 Dia kembali menembakku. Entah kenapa, aku menerimanya. Oh my
God, how silly I was. Hubungan itu kembali putus setelah 1 hari berlangsung.
Aneh sekali, ia yang meminta putus padahal ia yang menembakku. Dan aku tahu
dari sahabatku bahwa ia jadian dengan sahabatku yang lain bersamaan dengan
dia jadian sama aku. Sakit? Banget.
4 Mei 2014 Aku tidak yakin sepenuhnya bahwa kita jadian untuk yang ketiga
kalinya tanggal sekian. Argghh.. Aku kembali menerimanya. Dia berkata ia
tahu bahwa ia salah dan ia ingin memperbaikinya. Entah mengapa, aku
menerimanya lagi. Mungkinkah karena aku masih terlalu muda untuk mengenal
kata cinta? Mungkin, seharusnya aku tidak menerimanya sejak awal. Nasi sudah
menjadi bubur. Yah, mau bagaimana lagi.
Perasaan Tak Terdeskripsikan
Inspirasi dan imajinasi itu muncul sesaat dan cepat, hampir tak berbekas.
Jiwa kembali hampa, pikiran kembali kosong. Entah apa yang harus aku tulis,
apa yang mesti aku ceritakan. Semuanya samar, hambar. Rangkaian lagu yang
mengalun lewat iphoneku tak jua memberiku sebuah inspirasi yang bisa aku
tulis. Ah, menyebalkan. Bagaimana bisa tulisan ini selesai, bahkan sepatah
kata pun tak terpilih menjadi bahan ceritaku kali ini. Mana imajinasi itu?
Ku tenangkan pikiranku, ku lapangkan hatiku. Sejenak aku terdiam, merenung,
dan mencoba pelan-pelan mengingat masa lalu aku yang dari Sebagian banyak
harus aku pilih yang kemudian aku kembangkan bersama imajinasi dan
khayalanku untuk dirangkai menjadi sebuah karangan utuh yang menarik.
Empat tahun yang lalu, ya saat aku duduk di bangku kelas 1 SMA Negeri Merah
Putih. Sebuah pertemuan yang ditentukan oleh Allah yang sama sekali tidak
pernah terbesit di pikiranku. Sebuah pertemuan gila, tanpa unsur
kesengajaan. Seorang gadis berkuncir kuda, dengan balutan celana doreng
tentara dan t-shirt cokelat yang hampir senada warnanya. Ia biasa dikenal
dengan nama Vivi. Maksud hati akan ke rumah saudara yang berjarak sekitar 50
meter dari rumahnya. Entah setan apa yang merasuki dirinya, sehingga kaki
itu melangkah mampir ke rumah tetangga sebelah.
Alhasil, saat ia hendak masuk. Seorang pemuda tak dikenal dengan kaos tanpa
lengan menuju pintu. Nah, refleks kakiku mundur-mundur, berbalik badan dan
berjalan menjauh yang kemudian menuju tempat tujuanku semula. Ujung-ujung,
aku pun mulai mengenal pemuda yang bernama Tomy. Ya, ternyata dia sepupu
tetanggaku. Tetanggaku ini sepupuan dengan Ibuku. Jadi ya dia masih saudara
jauh lah denganku. Umur dia itu lebih kurang 3 tahun lebih tua diatasku.
Karena saat aku baru beberapa bulan duduk manis di bangku SMA, ia sudah
duluan lulus 1 tahunan.
Sang waktu pun terus berjalan. Dia menjadi saksi bisu atas sebuah HTS
(Hubungan tanpa Status), bukan boyfriend Vivi dan bukan juga girlfriend
Tomy. Ya, aku sendiri tak bisa mendeskripsikan perasaan apa yang tengah
terjadi. Aku masih ingat betul, ketika SMA kelas 1 saat pertemanaan berjalan
baik. Hanya saja smsnya kadang membuat jengkel, banyak gombal dan yang masih
belum aku tahu kebenarannya kalau dia peminum dari smsnya dan kadang dari
cerita tetanggaku.
Aku pun cuek-cuek bebek aja. Terkadang malah sahabatku yang membalas
sms-smsnya. Di tahun berikutnya, ada sesuatu hal yang mengganjal bukan
karena cemburu, patah hati atau apapun. Tapi suatu rasa takut akan kejadian
masa itu aku terulang lagi. Rasa takut akan keadaan yang sebenarnya. Cantik
itu bukan aku, tubuh indah juga enggak, pintar nggak begitu dan hal lain
yang nggak bisa dijelasin dari sekian banyak alasan yang merasuki dan
menjadikan rasa minder itu bertambah besar.
Namun di sisi lain, aku juga tahu dia sering banyak kejadian dalam
kehidupanku terekam dalam penglihatannya. Dia mungkin banyak tahu tentang
aku. Saat pertama bertemu aku berdiri di pintu rumah tetanggaku, saat aku
ditawari untuk ikut pergi mengunjungi tempat pariwisata, saat sebuah acara
‘maulidan’ di surau dekat rumah, saat aku membeli tahu di depan rumah kepada
penjaja tahu keliling, dan terakhir saat aku akan pergi merabot Nenek buyut
aku yang meninggal.
Saat itu pun aku mendeklarasikan gak mau sms dia lagi. Padahal berat
rasanya kehilangan seorang teman sms yang seperti Kakakku sendiri. Kadang
saat dia sms pun aku hanya membalas ala kadarnya saja. Di tahun ketiga,
ketika lupa, aku sms dia iseng-iseng. Saat setan ‘keganjalan’ itu muncul,
tak ada sms kiriman maupun sms balasan. Dan terkhir kali aku sms dia duluan
saat aku meminta doanya agar aku bisa sukses dalam ujian nasional. Saat
pengumuman Kak Tomy yang sms bercanda yang menyatakan aku tidak lulus. Tapi
alhamdulilah aku bisa lulus dengan nilai yang cukup.
Seseorang di sana, aku tak mengerti keisengan, banyolan dan kata-kata kamu
sebuah kebenaran atau hanya bercanda. Dan aku pun juga tak mengerti akan
tingkah aku yang menganggap kamu seperti Kakakku sendiri, tingkahku yang
seperti anak kecil, tingkahku yang selalu menjodoh-jodohkan kamu. Aku tak
tahu apa yang ada di kedalaman hatiku. Ada suatu perasaan senang, kadangkala
kerinduan, namun yang penting saat sms bersama Kakak itu aku tak perlu
munafik, harus ini, harus itu. Tak ada yang harus ditutupi. Aku layaknya
menjadi diriku sendiri. Kecuali satu hal yang sekali lagi aku tak bisa
deskripsikan. Yaitu sesuatu perasaan dalam hatiku.
Friendship
Sore hari di sebuah rumah sakit terlihat gadis bernama Ayana shahab -Achan-
sedang menangis di taman rumah sakit “kenapa sih kanker darah ini gak mau
hilang?” Achan bertanya dengan perasaan kesal dan sedih sambil menatap tajam
dedauan di taman dan tak terasa butiran bening pun membasahi pipinya.
“Achan!” teriak Rena yaitu sahabatnya. “Rena?” Achan menengok sebentar dan
menghapus air matanya. “kamu abis nangis?” tanya Rena yang kini duduk di
sampingnya. “enggak kok” Achan berbohong.
“Achan, tatap mata aku, jujur aja sama aku, kita kan friend” ujar Rena.
“hmm aku kesal Rena, kenapa kanker darah ini gak mau hilang?” tanya Achan dengan air matanya yang mengalir deras. “Achan,” panggil Rena pelan dengan jatuhnya butiran bening di pipinya. “Rena,” Achan menangis keras dan memeluk sahabatnya. “jangan nangis ya, aku yakin kamu akan sembuh” kata Rena optimis. “tapi kapan?” tanya Achan sambil memeluk erat Rena dan kini keduanya pun saling diam dengan pikiran masing-masing dan tumpahan air mata yang mengering karena angin. “Rena, aku sayang kamu” ujar Achan.
“aku juga, Achan udah yuk masuk ke kamarmu” ajak Rena sambil menarik tangan Achan pelan, namun Achan menepisnya.
“hmm aku kesal Rena, kenapa kanker darah ini gak mau hilang?” tanya Achan dengan air matanya yang mengalir deras. “Achan,” panggil Rena pelan dengan jatuhnya butiran bening di pipinya. “Rena,” Achan menangis keras dan memeluk sahabatnya. “jangan nangis ya, aku yakin kamu akan sembuh” kata Rena optimis. “tapi kapan?” tanya Achan sambil memeluk erat Rena dan kini keduanya pun saling diam dengan pikiran masing-masing dan tumpahan air mata yang mengering karena angin. “Rena, aku sayang kamu” ujar Achan.
“aku juga, Achan udah yuk masuk ke kamarmu” ajak Rena sambil menarik tangan Achan pelan, namun Achan menepisnya.
“aku mau lihat sunset” ujar Achan. “hmm baiklah” Rena pun mengalah dan
duduk kembali sambil melihat sunset yang indah dan saling diam. “seandainya
aku sekarang akan pergi, aku ingin tak ada yang menangisiku” ujar Achan.
“Tuhan, kalau aku diberi pilihan antara hidupku dan hidup Achan, aku lebih
memilih hidup Achan, dia sahabatku, angkatlah penyakitnya” batin Rena. “ya
sunsetnya udah selesai, udah yuk ke kamarku, lagian juga udah malam dan
dingin” seru Achan sambil menarik tangan Rena dan pergi ke kamarnya di ruang
17.
Sesampainya di kamar, Achan pun langsung tidur seakan melupakan penyakit
yang dideritanya, sementara itu Rena terlihat menangis namun Rena mencoba
menahan nya, pagi harinya Achan pun terbangun dan mengambil minum namun
tubuhnya tiba tiba merasakan sakit yang amat sangat sehingga gelas yang
ingin di raih Achan pun jatuh dan pecah, sontak Rena pun bangun dari
tidurnya dan menghampiri Achan
“Achan, kamu haus? sini biar aku saja yang mengambilnya” kata Rena yang
hendak mengambil minum namun tangannya dipegang Achan. “gak usah ren,
percuma” Achan menangis seakan tahu bahwa malaikat maut akan menjemputnya.
“kamu gak boleh ngomong gitu chan, aku yakin pasti kamu bisa sembuh” kata
Rena. “kalau gak sembuh gimana, kata dokter umurku cuma 1 minggu lagi dan
rambutku aja udah rontok, pasti malaikat maut akan datang” Achan menangis
semakin keras dan Rena pun memeluknya.
“gak ada yang gak mungkin Achan, percayalah kau bisa sembuh” Rena memeluk Achan dengan hangatnya. “aku sayang kamu Rena, kamu sahabat aku” ujar Achan.
“aku juga sayang kamu Achan, so don’t be cry ya” seru Rena dan ia pun menghapus air mata Achan, hari-hari mereka pun dilalui dengan bersama-sama.
“gak ada yang gak mungkin Achan, percayalah kau bisa sembuh” Rena memeluk Achan dengan hangatnya. “aku sayang kamu Rena, kamu sahabat aku” ujar Achan.
“aku juga sayang kamu Achan, so don’t be cry ya” seru Rena dan ia pun menghapus air mata Achan, hari-hari mereka pun dilalui dengan bersama-sama.
Dan tak terasa ini adalah hari terakhir untuk Achan, ia pun terbaring lemah
di ranjang yang di depannya terdapat orangtua Achan, Rena, dan orangtua
Rena. “ma, pa, ren, om, tante, udah saatnya aku pergi, aku senang bisa
dikasih hidup yang indah ini, aku gak akan melupakan kalian” ujar Achan
dengan suara yang nyaris tak terdengar. “kamu harus kuat Achan!” kata Mama
Achan. “maaf mah, aku gak bisa” butiran bening pun membasahi pipi Achan.
“ren, kamu adalah sahabatku yang paling baik, maaf ya kalau aku gak bisa menjadi sahabatmu yang sempurna, kamu adalah kenangan terindahku, saat aku di alam sana, kamu jangan sedih, karena kalau kamu sedih aku juga sedih, aku mau kamu bahagia dengan yang lainnya ren” ucap Achan.
“ren, kamu adalah sahabatku yang paling baik, maaf ya kalau aku gak bisa menjadi sahabatmu yang sempurna, kamu adalah kenangan terindahku, saat aku di alam sana, kamu jangan sedih, karena kalau kamu sedih aku juga sedih, aku mau kamu bahagia dengan yang lainnya ren” ucap Achan.
“aku cuma mau kamu sembuh chan, agar kita bisa melewati hari bersama” kata
Rena dengan tangisan yang pecah. “aku gak bisa ren, penyakit ini terus
menggerogoti tubuhku, aku gak bisa hidup begini terus” jawab Achan. “kita
akan menjadi sahabat selamanya, persahabatan kita gak akan putus sampai
sini, jaga dirimu baik-baik” sambung Achan lalu Achan pun menutup matanya
untuk selamanya. “Achaann!!!” teriak Rena dengan tangisan yang lebih keras
lagi, dokter pun datang dan memeriksa keadaan Achan lalu memberitahu kalau
Achan sudah meninggal.
“duuggg!!” dada Rena menjadi sakit, napasnya pun sesak dan tangis pun tak dapat dibendung lagi, ia pun lemas dan jatuh ke lantai. “Achan kenapa kamu secepat ini meninggalkan aku?” tanya Rena, sementara itu Mama Achan pun jatuh pingsan.
“duuggg!!” dada Rena menjadi sakit, napasnya pun sesak dan tangis pun tak dapat dibendung lagi, ia pun lemas dan jatuh ke lantai. “Achan kenapa kamu secepat ini meninggalkan aku?” tanya Rena, sementara itu Mama Achan pun jatuh pingsan.
Berbulan-bulan kemudian di makam Achan. “hai Achan, hmm aku gak akan lupain
kamu, sekarang aku sadar bahwa kalau kamu masih hidup pasti kamu lebih
menderita karena penyakitmu itu, aku akan terus menjaga persahabatan kita,
dan percayalah suatu saat nanti aku akan menyusulmu di sini.” ucap Rena
dengan tangisannya sambil memeluk nisan Achan dan hembusan angin sejuk yang
menerpa Rena.
No comments:
Post a Comment